RAGAM  

Moderasi Beragama sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa 

Moderasi Beragama sebagai Perekat dan Pemersatu Bangsa 

DEPOKTIME.COM, Depok – Kerap kali sering terdengar kalimat moderasi beragama pada zaman sekarang ini. Namun, masih ada dari sebagian masyarakat yang belum mengetahui apakah arti dari moderasi beragama yang sebenarnya. Jadi, apa itu moderasi beragama.

Sebagaimana dikutip dari situs web resmi Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag), “moderasi beragama” didefinisikan sebagai cara pandang, sikap, dan perilaku beragama yang dianut dan dipraktikkan oleh sebagian besar penduduk di Indonesia. Moderasi beragama dalam konteks Aqidah dan hubungan umat beragama berarti meyakini agama sendiri secara radikal dan menghargai orang lain yang menganut agama mereka tanpa harus membenarkannya.

Menurut buku “Moderasi Beragama Dalam Menumbuhkan Sikap Toleransi Dan Moral Generasi Muda”, moderasi beragama adalah hasil dari pemikiran agama yang dapat dipahami sehingga orang dapat mengamalkan ajaran agama tanpa berfokus pada ideologi kanan atau kiri. (Mela, 2020)

Menurut Prof M. Quraish Shihab, moderasi beragama dalam Al Quran berarti “wasathiyah” yang berarti pertengahan. Maksudnya pertengahan adalah adil, baik, terbaik, dan paling utama. Dalam hal ini, Quraish Shihab melihat dalam wasathiyah terdapat empat pilar penting, yaitu: pilar keadilan yakni adil yang tidak memihak kepada salah satu seseorang yang berselisih, pilar keseimbangan berarti dalam suatu kelompok terdapat banyak bagian yang mengarah pada satu tujuan yang penting syarat dan kadar dapat terpenuhi semua bagian, kemudian adil artinya dapat memberikan hak-haknya pada setiap individu sesuai dengan hal-hal pemiliknya, selanjutnya yang terakhir adil yang dinisbatkan pada Ilahi. Artinya, Rahmat dan kebaikannya.

Kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of dispute). Kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghindaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Kata ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah. Sedangkan kata “moderator” berarti orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada acara pembicaraan atau pendiskusian masalah, alat pada mesin yang mengatur atau mengontrol aliran bahan bakar atau sumber tenaga.

Jadi, ketika kata “moderasi” disandingkan dengan kata “beragama”, menjadi “moderasi beragama”, maka istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari keekstreman dalam praktik beragama. Gabungan kedua kata tersebut mewakili suatu sikap dan upaya untuk menjadikan agama sebagai dasar dan prinsip, selalu menghindari tindakan dan ekspresi yang ekstrim (ekstremisme), serta selalu mencari jalan tengah yang menyeimbangkan seluruh elemen dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Moderasi adalah sikap yang baik dan sangat dibutuhkan kedewasaan. Moderasi beragama adalah moderasi beragama yang dilakukan dalam berbagai batasan, seperti antara klaim kebenaran mutlak dan subjektivitas, antara penafsiran harafiah dan penolakan arogan terhadap ajaran agama, antara radikalisme dan sekularisme. Komitmen terhadap toleransi yang menjadi inti dari moderasi beragama menjadi cara terbaik menghadapi radikalisme agama yang mengancam kehidupan beragama itu sendiri dan pada gilirannya berdampak pada keutuhan kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa.

Mengapa moderasi beragama penting dalam konteks persatuan di Indonesia.

Jawabannya adalah keberagaman agama tidak bisa dihindari dan tidak bisa dihilangkan.

Ide dasar dari moderasi adalah mencari persamaan dan tidak memperparah perbedaan. Jika dicermati, setidaknya ada tiga alasan utama mengapa kita perlu melakukan moderasi beragama.

Pertama, hakikat keberadaan agama salah satunya adalah menjaga harkat dan martabat manusia sebagai makhluk mulia ciptaan Tuhan, termasuk juga pertimbangan. Ini hidup. Itu sebabnya setiap agama selalu mempunyai misi perdamaian dan keselamatan. Untuk mencapai hal tersebut, agama selalu menghadirkan ajaran tentang keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan. Agama juga mengajarkan bahwa melindungi kehidupan manusia harus menjadi prioritas. Punahnya suatu kehidupan sama dengan punahnya seluruh kehidupan manusia.

Moderasi beragama melestarikan nilai-nilai kemanusiaan. Orang-orang ekstrim seringkali terjebak dalam praktik keagamaan yang mengatasnamakan Tuhan hanya untuk melindungi kemuliaan Tuhan, mengabaikan sisi kemanusiaan. Oleh karena itu, meskipun pelestarian kemanusiaan merupakan salah satu prinsip utama agama, umat beragama rela mempermalukan sesamanya “atas nama Tuhan”. Beberapa orang menyalahgunakan ajaran agama untuk membenarkan keinginan mereka, kepentingan hewani, dan terkadang keinginan politik. Tindakan eksploitasi atas nama agama tersebut cenderung mengganggu keseimbangan kehidupan beragama dan bersifat ekstrem dan berlebihan.

Dalam hal ini, pentingnya moderasi beragama adalah bagaimana mengembalikan praktik keagamaan agar selaras dengan esensinya dan memastikan bahwa agama benar-benar berfungsi untuk menjunjung tinggi kehormatan dan martabat manusia, dan bukan sebaliknya.

Kedua, dalam ribuan tahun sejak munculnya agama, jumlah masyarakat semakin bertambah dan beragam, dengan suku, bangsa, dan warna kulit tersebar di berbagai negara dan wilayah. Ketika umat manusia berkembang dan menyebar, begitu pula agama. Karya-karya para sarjana awal yang ditulis dalam bahasa Arab tidak lagi cukup untuk mengapresiasi sepenuhnya kompleksitas permasalahan kemanusiaan. Teks-teks keagamaan mempunyai banyak penafsiran yang berbeda-beda dan banyak kebenaran. Beberapa pemeluk agama tidak lagi berpegang teguh pada substansi atau substansi ajaran agamanya, namun berfantasi tentang interpretasi kebenaran yang mereka sukai, dan terkadang interpretasi yang sesuai dengan kepentingan politik mereka.

Oleh karena itu, konflik tidak bisa dihindari. Kompleksitas kehidupan manusia dan agama seperti ini terjadi di berbagai belahan dunia, tidak hanya di Indonesia dan Asia. Situasi ini menyadarkan pentingnya moderasi beragama agar peradaban manusia tidak hancur akibat konflik agama.

Ketiga, khususnya dalam konteks Indonesia, moderasi beragama diperlukan sebagai strategi budaya untuk menjaga keindonesiaan. Sebagai bangsa yang sangat heterogen, para pendirinya sejak awal berhasil mewarisi bentuk negara dan negara yang bersatu, yaitu negara kesatuan Pancasila Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang jelas bertujuan untuk menyatukan semua agama dan suku.

Aspek kebahasaan dan kebahasaan dalam menyatukan kelompok budaya.

Meskipun kami sepakat bahwa Indonesia bukanlah negara yang beragama, namun kami tidak memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Nilai-nilai agama tetap dilestarikan dan dipadukan dengan kearifan dan adat istiadat setempat, sebagian hukum agama diberlakukan oleh negara, serta ritual keagamaan dan budaya terjalin secara harmonis dan damai. Inilah Jati Diri Indonesia yang Sebenarnya. Ini adalah negara yang sangat religius dengan kepribadian yang sopan, toleran dan menerima. Ekstremisme dan radikalisme tentu akan menggerogoti fondasi keindonesiaan kita seiring dengan pertumbuhan kita.

Oleh karena itu, perspektif moderasi beragama menjadi sangat penting. Selain tiga poin utama di atas, dapat dijelaskan juga bahwa moderasi beragama sebenarnya merupakan kebaikan moral secara umum, yang tidak hanya menyangkut perilaku individu tetapi juga komunitas dan organisasi. Moderasi telah lama menjadi aspek penting dalam sejarah peradaban dan tradisi semua agama di dunia. Tidak diragukan lagi, semua agama memiliki kecenderungan doktrinal yang memiliki makna yang sama.

Penulis : Huriyah Nabilah, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Arab, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *